Spiga

GANTI KANTONG PLASTIK ANDA !!

Dalam setahun, sekitar 1 trilyun kantong plastik digunakan oleh penduduk dunia. Ini berarti setiap menitnya ada sekitar 2 juta kantong plastik yang dibuang atau setiap orang menggunakan sekitar 170 kantong plastik tiap tahun. Padahal untuk memproduksi plastik, setiap tahunnya diperlukan 12 juta barel minyak dan 14 juta batang pohon yang mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer. Dibutuhkan waktu 1000 tahun agar plastik terurai dalam tanah. Dengan mengubah kebiasaan menggunakan kantong plastik dan mengantinya dengan kantong degradable, maka anda telah berkontribusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim

“Biodegradable” “Plastik” Pembungkus yang Bisa Dimakan

Pada 24 Juli 1868, John Wesley Hyatt tersenyum lebar. Itulah hari kemenangannya. Temuan terbaru ilmuwan Amerika itu keluar sebagai jawara sebuah lomba penciptaan benda anyar yang murah sekaligus ringan untuk alat-alat permainan. Di kemudian hari, kita mengenal temuan Hyatt itu sebagai plastik.

Kini, lebih dari 200 tahun kemudian, plastik telah menjadi bagian teramat penting dalam peradaban modern, khususnya di dunia perindustrian. Karena berbagai keunggulan yang dimiliki, seperti kuat, ringan, dan stabil, plastik digunakan di hampir semua produk buatan manusia, mulai dari bungkus makanan ringan yang dijual di pinggir jalan sampai dengan bermacam barang mewah yang menghiasi pusat-pusat pertokoan megapolitan.

Senyum Hyatt boleh jadi makin lebar mengetahui kenyataan ini. Plastik telah memberi banyak kemudahan dan kenyamanan kepada manusia yang pada awal milenium kedua ini telah mencapai angka 6 miliar lebih. Tetapi bisa jadi dia pun banyak menggelengkan kepala mengetahui betapa besar dampak buruk yang disebabkan oleh temuan fenomenalnya. Plastik pun menampakkan sisi destruktifnya.

Eksploitasi sumber daya alam dan energi secara besar-besaran berakibat terciptanya sampah yang menumpuk dalam jumlah masif. Di antara sampah tersebut, sampah plastik merupakan salah satu yang paling sulit ditangani. Plastik sukar terurai oleh mikroorganisme dalam tanah sehingga berpotensi menyebabkan masalah lingkungan serius berskala global.
Langsung cemplung

Jika plastik Hyatt tercipta dalam senyum lebar kemenangan, plastik biodegradable muncul dari keprihatinan terhadap makin rusaknya lingkungan hidup. Makin tak terkendalinya pencemaran oleh gunung sampah plastik yang tak terurai melahirkan berbagai usaha perbaikan. Selain pendekatan daur ulang dan teknologi pengolahan sampah plastik, alternatif lain adalah bahan baru yang disebut plastik biodegradable.

Plastik biodegradable adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Ada dua bahan baku utama yang dapat dipakai dalam pembuatan plastik biodegradable, yakni petrokimia dan produk tanaman seperti pati dan selulosa. Produk terakhir inilah yang dewasa ini banyak dikembangkan, khususnya di lingkungan perguruan tinggi.

Salah satu penelitian tentang pemanfaatan pati ubi kayu sebagai bahan plastik biodegradable dilakukan oleh lima mahasiswa Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), yakni Mujiono, Galih Nugroho, Suhendri, Wahyu Prasetiawati, dan Tomi Ertanti. Di bawah bimbingan dosen Feri Kusnandar, kelima mahasiswa semester VI tersebut melakukan penelitian selama enam bulan terakhir. Pati ubi kayu mereka pilih sebagai bahan baku.

“Ubi kayu kami pilih karena tumbuhan ini banyak ditemui di Indonesia sehingga bisa diharapkan pasokan yang stabil,” ujar Mujiono. Dengan mengambil judul “Aplikasi Edibel Film Komposit dari Pati Ubi Kayu Sebagai Kemasan Ramah Lingkungan”, hasil penelitian Mujiono dan keempat temannya ini berhasil menembus babak final Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dalam Pekan Ilmiah Nasional yang digelar di Semarang akhir pekan lalu.

Pati punya peranan yang sangat besar dalam menentukan sifat-sifat produk pangan. Pati mampu berinteraksi dengan senyawa-senyawa lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga berpengaruh pada aplikasi proses, mutu, dan penerimaan produk. Salah satu fungsi pati yang dieksploitasi tim IPB ini adalah kemampuannya dijadikan bahan pelapis yang dapat dimakan (edible film).

Edible film adalah lapisan tipis dan kontinu yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film). Prinsip pembentukan edible film adalah interaksi rantai polimer menghasilkan agregat polimer yang lebih besar dan stabil.

Oleh tim IPB, penelitian edible film secara spesifik dilakukan untuk mencari pengganti plastik pembungkus bumbu kering, sebagaimana terdapat dalam berbagai jenis mi instan. “Bayangkan berapa banyak bungkus bumbu plastik yang yang selama ini terbuang menjadi sampah. Dengan plastik biodegradable, bungkus bumbu tidak jadi sampah, tetapi langsung cemplung. Ikut dimasak dan dimakan,” kata Wahyu Prasetiawati.

Selain pati ubi kayu, untuk membuat edible film dibutuhkan karagenan, lilin madu (beeswax), dan gliserol. Diolah dari rumput laut, karagenan berfungsi sebagai bahan penstabil sistem emulsi produk makanan. Komposisi keempat bahan saat dicampurkan ke dalam air adalah 0,7 persen pati ubi kayu, 2,5 persen karagenan, o,5 persen rumah madu, dan 1 persen gliserol.
Edible film dibuat melalui beberapa tahap. Pertama, air dipanaskan hingga mencapai suhu 40 derajat Celsius. Karagenan dimasukkan dan disusul kemudian pati ubi kayu. Suhu lantas dinaikkan menjadi 90 derajat Celsius dan gliserol dimasukkan. Sesudah itu, larutan didinginkan hingga 50 derajat Celsius, kemudian dinaikkan lagi ke 64 derajat Celsius. Terakhir, masukkan lilin madu.

Tahap berikutnya, larutan dipanaskan hingga mendidih, dan kemudian diaduk. Selang beberapa lama, larutan dituang ke cetakan (plate) untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 5o derajat Celsius selama satu jam. Sebagai tahap penghabisan, hasil cetakan dikeluarkan dan dibiarkan berada pada suhu ruangan hingga kering. Sesudahnya, bumbu dimasukkan dan lembar cetakan di-seal sebagaimana plastik konvensional.
Masih laboratorium

Di negara-negara maju, plastik biodegradable sudah menjadi tren baru dan mulai diproduksi secara masal untuk konsumsi industri. Di Indonesia, sayangnya, penelitian masih sebatas skala laboratorium. Dunia industri belum mau melirik. Kenyataan ini disadari benar oleh tim IPB. Untuk itulah, selama penelitian mereka merintis kerja sama dengan salah satu produsen bumbu di Jakarta, PT Sentra Nusantara Abadi. Industri plastik biodegradable tidak tersangkalkan akan berkembang menjadi industri besar di masa yang akan datang. Jika pada 1999 produksi plastik biodegradable hanya 2.500 ton atau 1/10.000 dari total produksi bahan plastik sintetis, Japan Biodegradable Plastic Society memproyeksikan pada 2010 nanti, produksi plastik biodegradable akan mencapai 1.200.000 ton atau menjadi 1/10 dari total produksi bahan plastik.

Dengan menangkap peluang ini, pantaslah kita berharap bumi makin hijau. Dengan kekayaan alam yang melimpah, diharapkan banyak bermunculan penelitian dan produksi plastik biodegradable. Selain ubi kayu, di tanah kita tumbuh subur umbi kimpul, iles-iles, suweg, ganyong, gadung, dan yang tengah banyak diteliti, bonggol pisang. Nah, apalagi yang ditunggu? (Ag. Tri Joko Her Riadi)***
Disadur dari Pikiran Rakyat, 15 Juli 2009

0 comments: